Kamis, 17 Desember 2015

Pendidikan bagi Anak Spesial – Sekolah Inklusi



Pendidikan bagi Anak Spesial – Sekolah Inklusi
Namanya saja anak berkebutuhan khusus [ABK] atau anak spesial jadi memang tempat pendidikannya pun harus spesial. Kalau Anda pernah mendengar istilah sekolah inklusi [atau inklusif?] itu artinya tempat pendidikan yang “normal” tapi menyediakan beberapa bangku untuk menerima anak-anak spesial ini. Idealnya sekolah inklusi tersebut harus memiliki sarana dan guru yang terlatih untuk menangani anak-anak spesial ini. Diharapkan dengan dibaurkan dengan anak-anak tanpa kebutuhan khusus maka anak-anak ABK ini akan lebih mudah nantinya bermasyarakat demikian pula anak-anak lain belajar untuk menerima mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang  didasarkan pada hak asasi dan model sosial, sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan dengan sistem. Pendidikan Inklusi dapat dipandang sebagai pengerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan, keberagaman dan diskriminasi, proses partisipasi dan sumber-sumber yang tersedia
Namun kenyataannya belum seperti itu, baik dari sisi jumlah maupun mutu. Tentu hal ini belum menggembirakan bagi anak-anak spesial dan para orang tuanya.
Untuk diketahui, pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut memberi tentu saja memberikan ruang gerak baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa  pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Di Jakarta misalnya,  dari keterangan Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa (Kasi PLB) Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta, sekolah inklusif telah diterapkan sejak tiga tahun lalu melalui payung hukum peraturan gubernur (pergub). Berdasarkan pergub inilah beberapa sekolah ditunjuk untuk membuka program inklusif.
Namun sayangnya semangat dan wacana penyediaan fasilitas pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus sangat berbeda dengan pelaksanaannya.
bina sekolah inklusi
Dalam RAPBD 2010, siswa yang mengalami hambatan belajar/kesulitan belajar karena Dislexia, ADHD (Atention Defisit Hiperaktif Disorder), ADD (Atention Difisit Disorder), dan Autis, mempunyai angka pravelensi 10% dari total jumlah siswa, namun mereka tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari Dinas Pendidikan. Walaupun sudah ada Peraturan Gubernur No.116 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pendidikan Inklusi yang dalam Bab III pasal 4 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusi di setiap Kecamatan sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) TK/RA, SD/MI, dan satu SMP/MTS dan disetiap Kota sekurang-kurangnya 3(tiga) SMU/SMK/MA/MAK. Prakteknya, di Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, hanya ada 3(tiga) SD Inklusi Negeri, seharusnya terdapat sekurang-kurangnya 30 SD/MI.
Mau tahu berapa anggaran yang sudah disediakan?
Biaya yang dianggarkan untuk pendidikan inklusi di Dinas Pendidikan sebesar Rp.200. juta untuk dana pendamping untuk 5(lima) SD model inklusi. Dan untuk tingkat Sudin Jakarta Pusat dianggarkan 50 juta untuk pembinaan guru inklusi sebanyak 60 orang, dan bimbingan teknis penyusunan KTSP, MBS, SLB Pendidikan Inklusi sebesar 50 juta. Dana pendidikan inklusi untuk seluruh wilayah DKI Jakarta kurang dari 2(dua) Milyar Rupiah.
Terjawab sudah, mengapa implementasi Pergub no. 116 tahun 2007 tentang pendidikan Inklusi gagal. Kegagalan ini, menyebabkan 50.000-an anak berkebutuhan khusus yang seharusnya ditampung di Sekolah Inklusi, menjadi tak tertangani dengan benar. Bandingkan dengan pengadaan seragam guru (PDH dan ongkos jahit sebesar 12,119 Milyar rupiah.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah DKI Jakarta di sektor pendidikan inklusi. Semangat pendidikan untuk semua dan siapa saja seharusnya juga di terapkan dalam realita di lapangan.DISLEKSIA ANAK YANG CERDAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar